Skip to main content
x

Cahaya Perjuangan Naila

 

Di sebuah desa kecil bernama Sukajaya, hiduplah seorang anak perempuan bernama Naila. Ia berasal dari keluarga sederhana yang penuh keterbatasan. Ayahnya seorang buruh tani, sedangkan ibunya bekerja sebagai penjahit rumahan. Meski hidup dalam kesederhanaan, Naila memiliki tekad yang kuat untuk meraih pendidikan setinggi mungkin.

Sejak duduk di bangku sekolah dasar, Naila sudah menunjukkan kecerdasan luar biasa. Namun, keterbatasan ekonomi sering kali menjadi penghalang. Buku pelajarannya hanya bekas pinjaman dari kakak kelas, dan ia kerap harus belajar di bawah temaram lampu minyak karena listrik di rumahnya sering padam.

Saat memasuki sekolah menengah pertama, cobaan semakin berat. Ayahnya jatuh sakit sehingga tak bisa lagi bekerja. Naila yang masih belia harus membantu ibunya mencari nafkah. Ia mulai berjualan jajanan kecil di sekolah, seperti kue dan gorengan yang dibuat ibunya setiap pagi.

Awalnya, Naila merasa malu karena harus berjualan kepada teman-temannya. Namun, tekadnya lebih besar dari rasa malu itu. Ia menganggap ini sebagai perjuangan demi masa depannya. Setiap pagi sebelum berangkat sekolah, ia membantu ibunya memasak, lalu membawa dagangannya ke sekolah. Di sela-sela jam istirahat, ia menjajakan jualannya dengan senyum tulus.

"Naila, aku beli dua pastel dan satu risoles ya," ujar Lani, salah satu teman sekelasnya.

"Terima kasih, Lani! Ini kuenya, semoga suka," jawab Naila dengan senyum cerah.

Beberapa temannya mulai memperhatikannya. Mereka kagum karena meskipun harus berjualan, Naila tetap bisa fokus pada pelajaran. Bahkan, dalam ujian semester, ia selalu meraih peringkat pertama.

Suatu hari, Bu Rina, guru matematika di sekolahnya, memanggilnya ke kantor.

"Naila, Ibu melihat kamu sangat tekun dalam belajar meskipun harus membantu orang tua. Ibu ingin mengajakmu mengikuti lomba olimpiade sains tingkat kabupaten. Kamu mau?" tanya Bu Rina.

Naila terkejut. "Saya? Tapi... saya harus membantu ibu berjualan, Bu. Saya takut tidak punya waktu untuk belajar lebih banyak."

"Jangan khawatir, Nak. Ibu dan teman-teman gurumu akan membantumu. Kami akan memberikanmu bimbingan ekstra setelah sekolah. Ini kesempatan besar untukmu," kata Bu Rina dengan lembut.

Naila merenung sejenak. Ia tahu ini adalah kesempatan yang langka. Dengan tekad kuat, ia mengangguk. "Baik, Bu. Saya akan mencobanya!"

Hari demi hari, Naila semakin giat belajar. Ia membagi waktunya antara berjualan, belajar, dan mengikuti bimbingan dari Bu Rina. Teman-temannya juga mulai membantunya dengan membeli lebih banyak jajanan agar ia bisa punya lebih banyak waktu untuk belajar.

Pada hari perlombaan, Naila merasa gugup. Namun, ia teringat perjuangannya selama ini. Ia mengerjakan soal-soal dengan teliti dan yakin.

Beberapa minggu kemudian, pengumuman hasil lomba pun tiba. Saat namanya disebut sebagai pemenang pertama, air mata bahagia mengalir di pipinya. Semua teman dan gurunya bersorak bangga.

"Aku tahu kamu bisa, Naila!" seru Lani sambil memeluknya.

Keuletan dan semangatnya menarik perhatian seorang donatur yang membaca kisahnya di sebuah surat kabar lokal. Orang itu menawarkan beasiswa penuh agar Naila bisa melanjutkan pendidikannya tanpa harus terbebani dengan biaya sekolah.

Saat pengumuman kelulusan SMA, Naila mendapat kabar gembira lainnya: ia diterima di universitas ternama dengan beasiswa penuh. Tangis haru menyelimuti keluarganya.

"Terima kasih, Bu. Terima kasih, Ayah. Semua ini berkat doa dan dukungan kalian," ucap Naila sambil memeluk orang tuanya.

Kini, Naila tidak hanya berhasil mengubah nasibnya sendiri, tetapi juga menjadi inspirasi bagi banyak anak di desanya. Ia membuktikan bahwa keterbatasan bukanlah penghalang untuk meraih impian, selama ada kemauan, kerja keras, dan ketekunan. Ia berjanji akan kembali ke desanya suatu hari nanti untuk membantu anak-anak lain agar bisa mendapatkan pendidikan yang layak, seperti yang dulu ia perjuangkan.

 

Writer : Fidya Hulwani Putri 

Editor : Gunawan A