Skip to main content
x

Menggapai Cita Demi Masa Depan

Pagi itu, mentari bersinar cerah di langit Bengkulu. Rafi duduk di beranda rumahnya, memandangi sepucuk surat yang baru saja diterimanya. Tangannya gemetar saat membuka amplop berlogo SMAIT IQRA’. Matanya berbinar saat membaca isinya, ia diterima sebagai peserta didik baru di sekolah impiannya.

Namun, kebahagiaan itu segera bercampur dengan kekhawatiran. Rafi berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya seorang buruh harian, sedangkan ibunya menjual kue keliling. Biaya sekolah menjadi tantangan besar bagi mereka. Meski begitu, Rafi tidak ingin menyerah.

***

Suatu malam, Rafi berbicara dengan ibunya di dapur, membantu menyiapkan adonan kue.

"Bu, kalau aku benar-benar masuk SMAIT IQRA', apakah kita bisa membayar uang sekolahnya?" tanya Rafi lirih.

Ibunya berhenti sejenak, menatap anaknya dengan penuh kasih sayang. "Nak, pendidikan itu penting. Kalau ini memang impianmu, kita akan mencari cara. Kamu bisa mencoba mengajukan beasiswa," jawab ibunya sambil mengelus kepala Rafi.

Mendengar itu, Rafi semakin bersemangat. Ia membantu ibunya berjualan setiap pagi sebelum berangkat sekolah. Ia juga belajar lebih giat untuk memastikan nilainya cukup tinggi agar bisa mendapatkan beasiswa.

Malam-malamnya dihabiskan dengan membaca buku di bawah lampu redup di ruang tamu rumahnya yang sederhana. Kadang-kadang ia merasa lelah, tetapi ia selalu mengingat tekadnya untuk menggapai pendidikan yang lebih baik.

***

Suatu hari, saat sedang membantu ibunya di pasar, Rafi bertemu dengan Pak Ahmad, seorang guru di SMAIT IQRA’.

"Rafi, kamu sudah daftar beasiswa sekolah?" tanya Pak Ahmad.

"Sudah, Pak. Saya berharap bisa mendapatkannya," jawab Rafi dengan penuh harap.

Pak Ahmad tersenyum. "Bagus. Saya melihat kerja kerasmu selama ini. Tetaplah berusaha dan berdoa, insyaAllah ada jalan."

Rafi mengangguk mantap. Dukungan dari orang-orang di sekitarnya membuatnya semakin percaya diri.

***

Hari pengumuman beasiswa pun tiba. Dengan jantung berdebar, Rafi berdiri di depan papan pengumuman sekolah. Ia mencari namanya dengan cemas. Keringat dingin membasahi dahinya.

"Rafi! Namamu ada di sini!" teriak temannya, Budi.

Rafi menatap papan itu dengan mata berbinar. Benar, namanya tertera sebagai salah satu penerima beasiswa. Air mata haru pun menetes di pipinya. Ia segera berlari pulang dan memeluk ibunya.

"Bu, aku dapat beasiswa! Aku bisa sekolah di SMAIT IQRA’ tanpa membebani Ayah dan Ibu!" serunya dengan suara bergetar.

Ibunya tersenyum penuh syukur. "Alhamdulillah, Nak. Ini adalah hasil dari kerja keras dan doamu. Jangan pernah berhenti berjuang."

***

Hari pertama sekolah tiba. Rafi mengenakan seragam barunya dengan penuh kebanggaan. Ia berjalan menuju sekolah dengan semangat yang membara. Saat sampai di gerbang SMAIT IQRA’, ia melihat para siswa lain yang juga penuh semangat untuk memulai perjalanan baru mereka.

Di kelas, Rafi mulai berkenalan dengan teman-teman barunya. Ia bertemu dengan Budi, teman yang dulu mengumumkan namanya di papan pengumuman, serta Fadli dan Nisa, yang juga penerima beasiswa. Mereka saling berbagi cerita tentang perjuangan mereka untuk bisa bersekolah di SMAIT IQRA’.

Saat jam pelajaran dimulai, Rafi merasa semakin yakin bahwa ia telah berada di tempat yang tepat. Guru-guru di SMAIT IQRA’ begitu ramah dan menginspirasi. Mereka tidak hanya mengajarkan ilmu akademik, tetapi juga menanamkan nilai-nilai Islam dalam setiap pelajaran.

***

Namun, perjalanan Rafi di SMAIT IQRA’ tidak selalu mulus. Ia harus beradaptasi dengan jadwal yang lebih padat, tugas-tugas yang lebih sulit, serta berbagai kegiatan ekstrakurikuler yang menuntutnya untuk lebih disiplin.

Suatu hari, Rafi merasa kewalahan dengan tugas-tugas sekolahnya. Ia pulang dengan wajah lesu, lalu duduk di meja makan tanpa banyak bicara.

"Kenapa wajahmu murung begitu, Nak?" tanya ayahnya dengan penuh perhatian.

"Aku merasa lelah, Yah. Tugas-tugas sekolah semakin sulit, dan aku merasa takut tidak bisa mempertahankan beasiswaku," jawab Rafi lirih.

Ayahnya tersenyum dan menepuk pundak Rafi. "Ingat, Nak, tidak ada perjuangan yang sia-sia. Setiap kesulitan yang kamu hadapi akan membuatmu lebih kuat. Jangan pernah menyerah. Kami selalu ada untuk mendukungmu."

Mendengar kata-kata ayahnya, Rafi merasa semangatnya kembali. Ia bertekad untuk tetap berusaha dan belajar lebih giat lagi. 

***

Seiring berjalannya waktu, Rafi semakin terbiasa dengan ritme sekolahnya. Ia menjadi salah satu siswa berprestasi di kelasnya dan bahkan mulai aktif dalam kegiatan organisasi sekolah. Ia bergabung dengan klub literasi dan membantu adik-adik kelas dalam belajar.

Suatu hari, ia diundang untuk berbicara di depan siswa baru tentang perjuangannya mendapatkan beasiswa.

"Saya ingin berbagi sedikit cerita tentang perjalanan saya ke SMAIT IQRA'. Saya berasal dari keluarga sederhana, dan sempat ragu apakah saya bisa bersekolah di sini. Tapi saya tidak menyerah. Saya berusaha, berdoa, dan akhirnya mendapatkan kesempatan ini. Saya ingin mengingatkan kalian semua, bahwa tidak ada impian yang terlalu besar jika kita berusaha dengan sungguh-sungguh," katanya dengan penuh semangat.

Para siswa mendengarkan dengan antusias, dan beberapa dari mereka merasa terinspirasi oleh kisah Rafi.

***

Tiga tahun berlalu, dan Rafi kini berada di tahun terakhirnya di SMAIT IQRA’. Ia semakin matang dan siap menghadapi masa depan. Dengan prestasi akademik yang gemilang, ia mulai mempersiapkan diri untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.

Saat upacara kelulusan, Rafi kembali mengenang perjalanannya. Dari seorang anak yang hampir putus asa karena biaya sekolah, hingga menjadi siswa berprestasi yang menjadi inspirasi bagi banyak orang.

Saat namanya dipanggil untuk menerima penghargaan sebagai salah satu lulusan terbaik, ia menatap orang tuanya di antara para hadirin. Ibunya menangis haru, sementara ayahnya tersenyum bangga.

Rafi tahu, ini bukan akhir dari perjalanannya, melainkan awal dari mimpi-mimpi besar yang akan ia kejar di masa depan.

"Tidak ada mimpi yang terlalu besar, selama kita memiliki tekad dan usaha untuk mencapainya."

 

Penulis : Fidya Hulwani Putri 

Editor : Gunawan A