• SMA IT IQRA
  • Feel All the Wonder Lifting Your Dreams for Brighter Future

"Sepotong Tari dalam Garis Waktu": Cerpen Karya Najla ZR, Juara Satu FSL2N Tingkat Kota Bengkulu

Sepotong Tari dalam Garis Waktu

Najla Z R       

 

Suara langkah kaki itu berirama.

Gerakannya mengayun lembut. Ah, rupanya aku terlempar kembali ke masa tatkala Ibu masih dapat bergerak bebas, tidak terikat oleh penyakitnya. Aku duduk bersandar di dinding, mengamati alunan demi alunan tari. Ibu dengan selendang batiknya menciptakan ritme yang menenangkan. Ini sudah tahun kesekian aku berlatih tari dengan Ibu. Darah seninya menurun padaku. Beliau juga mewariskan pelajaran tarinya padaku. Malah, semakin bertambah umur, semakin beragam tingkat kesulitan yang ditawarkan. Saat ini, Ibu sedang memaparkan tarian dari kampung halamannya, Tari Topeng. Setahuku, tarian ini memerlukan atribut yang menyamarkan raut wajah.

Dengan posisi tegak, Ibu meletakkan tangannya di samping tubuh dengan posisi terbuka. Wajahnya berseri-seri. “Untuk menghayati tarian, kamu juga perlu keterampilan dalam menunjukkan ekspresi wajah,” ujar Ibu sembari meletakkan kedua tangannya di dada. Ibu lantas menerangkan bahwa gerakan tersebut menyiratkan simbol hati yang ingin memberikan cinta dan kebaikan kepada orang lain. “Tarian ini kadang-kadang juga mengambil referensi dari mitos-mitos Jawa Barat. Kamu tahu, penggunaan topeng di sini dapat memberikan identitas visual karakter yang diperankan penari,” lanjut Ibu. Aku baru sadar tarian ini sarat akan makna simbolis yang dalam.

Detik itu aku terdorong untuk menanyakan sesuatu pada beliau. “Ibu,” ucapku. “Apakah Ibu punya impian yang belum terealisasikan?”

Ibu membalas dengan senyum lembutnya. “Wah, kenapa kamu ingin tahu?”

Aku tersenyum hingga nampak gigi-gigi. Jelas itu pertanyaan asal. Namun, aku menantikan jawabannya.

“Ibu punya, sebetulnya,” kali ini ayunan tangan Ibu melebar ke samping. Gejolak dalam matanya semakin berkobar. “Ibu sangat mendalami seni ini. Suatu saat nanti, Ibu ingin memberi manfaat kepada orang melalui tarian,”

Mataku membulat. “Bagaimana caranya?”

“Tentu saja ada caranya,” kata Ibu. “Misalnya menggelar pertunjukan tari amal,”

Aku memiringkan kepala. Menyalurkan minat pada hal yang disukai sembari menebar manfaat pada sesama. Barangkali terlalu abstrak, memang, namun impian yang Ibu bagikan mengguncang niatku untuk melakukan hal serupa.

Aku hanya mengingat peristiwa itu dengan samar. Meski itu sudah berbulan-bulan lalu, rasanya baru kemarin aku berlatih tari dengan Ibu. Selanjutnya hari demi hari keadaan beliau semakin memburuk. Ibu dilarikan ke rumah sakit usai mengeluh sulit tidur, padahal tubuhnya begitu lelah. Bahkan di tengah latihan menari pun tak jarang beliau meminta istirahat. Beberapa bulan kemudian, Ibu didiagnosa menderita skleroderma. Penyakit yang membuat jaringan darahnya mengeras, menyebabkan pengerasan pada kulit. Kebanyakan waktu pun dihabiskan di rumah sakit. Bertemu dokter-dokter dengan ribuan obat dan sarannya. Menghabiskan selang infus demi bertahan hidup.

Aku juga masih ingat, Ibu pernah berkata bahwa ia ingin sekali mewujudkan impiannya untuk menggelar pagelaran tari amal sebelum kematian menjemputnya. Kata-kata dokter akan sisa hidupnya yang tinggal sebulan lagi menghantuiku. Persis bagaimana kata-katanya mampu menggetarkanku untuk melakukan hal yang serupa, kini sekujur tubuhku dipenuhi gelora untuk merealisasikan hal tersebut. Akan kulakukan demi beliau. Sebelum saat itu merobek asa kehidupan, akan ku usahakan agar keinginan Ibu tercapai. Aku ingin melihat air wajahnya tatkala hal yang sudah lama ia idamkan hadir di hadapan matanya. Bagaimana, ya? Maka kususun rencana detail dalam benakku. Langkah pertama adalah mengumpulkan modal.

***

Aku digenggam kegembiraan saat Miss Eva, guru sanggar tariku menyambut baik rencanaku. “Ini sekaligus membantu panti asuhan sebelah sanggar,” ucapnya. Lantas beliau mengabarkan acara ulang tahun kota yang akan diselenggarakan di balai kota. Beliau berjanji padaku untuk berkolaborasi dengan panitia acara tersebut untuk menampilkan acara tari amal. Aku tak dapat menyembunyikan senyumku. Miss Eva sangat suportif. Ia selalu penuh semangat, persis sosok Ibu dengan percikan api-api energi.

Saat itu kuputuskan untuk menutupi sebagian modal dengan tabunganku. Maka, saat jalan pulang, aku mampir ke bank. Aku berencana menarik isi tabungan. Kuhitung kira-kira pengeluaran yang dibutuhkan. Untung, bank hari itu tidak begitu ramai. Beberapa orang kudapati menyelesaikan transaksi dan berjalan keluar. Begitu aku memasuki ruangan ATM, aku bak disambar petir. Keterkejutan menyergapku. Itu sosok yang diharapkan kehadirannya oleh Ibu, namun tak kunjung menunjukkan eksistensinya. Mengapa ia ada disini?

Aku pura-pura tak melihat. Bertegur sapa saja malas. Sudah lama kami berseteru. Aku tak pernah akrab dengannya. Kami bak api dan air. Atau disandingkan dengan langit dan bumi, kami tak jauh berbeda. Walau wajah kami identik sekalipun, hal tersebut tak dapat dihitung dengan jauhnya jarak antara kepribadian kami.

Sayangnya, kehadiranku justru disadari olehnya. Hanin menyipitkan mata, melirik dengan sinis. “Apa yang kau lakukan disini?” sahutnya ketus. Aku balas melontarkan tatapan paling tajam bagai ribuan pisau. “Bukan urusanmu,”

“Agaknya kau mau menarik uang dari tabunganmu,” ucapnya. Apa-apaan anak ini, kenapa dia ingin tahu sekali urusan orang? Aku mendengus, menarik sejumlah kertas bernilai dari ATM. “Banyak sekali. Apa yang mau kau lakukan?” Hanin melongo mendapatiku mengantongi lembaran uang. Tanpa menjawab, aku memalingkan badan dan melangkah keluar. Hanin membuntutiku. Aku jadi kesal.

“Kenapa, sih, kamu ingin tahu sekali urusan orang lain?” aku mengerutkan kening. Hanin mengangkat kedua tangannya, tanda tak tahu apa-apa. “Aku cuma ingin mengingatkan. Jangan kamu gunakan uang sebanyak itu dari tabungan sendirian. Rencananya aku ingin menggabungkan tabungan kita untuk membantu biaya pengobatan Ibu,” ucapnya. Ucapannya itu seperti sedang mengguncang-guncang bahuku, berusaha menyadarkan. Benar juga. Ayah pernah mengatakan hal tersebut. Mau tak mau aku harus merelakan tabunganku buat dipakai. Namun, kini aku melihat secercah mimpi yang menunggu untuk direalisasikan. Dan ucapan Hanin barusan bagai harimau yang mengancamku tatkala berusaha menggenggam mimpi tersebut. Celaka. Aku lupa akan hal tersebut.

“Aku kira kau tak peduli dengan Ibu. Kau tak pernah menjenguknya,” sahutku sinis. Hanin menautkan alisnya. Tampaknya ia tak senang dengan kata-kataku. Tapi lantas ia memilih untuk tidak menjawab.

“Kau tahu, aku menggunakan uang ini bukan untuk kepentinganku sendiri. Aku dengar dari Ibu, dia ingin menyelenggarakan acara tari amal. Maka kupikir sebelum beliau meninggal, akan kuwujudkan keinginannya tersebut,” kataku penuh penekanan. Hanin membulatkan matanya dengan dramatis, lantas mengepalkan kedua tangan. “Tunggu, apa?”

“Dengar, Hana. Uang itu akan terbuang sia-sia kalau kau gunakan untuk acara tari konyol itu. Kalau kau benar-benar peduli pada Ibu, seharusnya kau gunakan uang tersebut uang biaya pengobatannya! Itu lebih membantu Ibu. Kau hanya akan menggunakan uang tersebut demi kepentingan tidak bermanfaat!” Mata Hanin menyala penuh emosi dan tatapannya makin tajam. Tubuhku mematung. Api dalam sangkar yang kukunci rapat-rapat semakin membara. Entah mengapa logikanya masuk akal. Untuk sesaat aku mempertanyakan keputusanku. Tapi mendengar ucapan meremehkan yang dilontarkan Hanin, emosiku bergejolak. Barangkali argumenku bukan didasarkan kerasionalan, melainkan harga diri untuk menentang apapun yang dikatakan Hanin.

“Tentu saja ini tidak sia-sia, tahu,” balasku sengit. “Memangnya sebelum Ibu meninggal kamu tidak mau membahagiakannya, hah?”

Ucapanku dibalas dengan pisau tajam bertubi-tubi dari tatapannya. Hanin mengalirkan udara dingin dan tegang di sekitarnya. Namun, aku masih bersikukuh dengan rencanaku. “Kau pikir apa yang terjadi usai pertunjukan itu habis? Ibu tak mendapat apa-apa, penonton juga hanya menengok. Itu sama saja buang-buang harta!” Hanin memutar bola mata. Jelas-jelas ia menentang keputusanku. Kenapa ia tak pernah satu pemikiran denganku, sih? Tapi, di lain sisi, ucapannya ada benarnya. Bahkan dapat dibilang keputusannya jauh lebih rasional. Apa ini karena aku yang memandang idealisme?

Bibirku terkunci. Dilihat dari sisi manapun, alasannya lebih dapat diterima. Bukan saja dimensi rasionalnya lebih bervariasi dibanding keputusanku, hal tersebut juga dapat membantu Ibu. Aku menggigit bibir. Jujur, aku ingin sekali mempersembahkan sesuatu kepada Ibu. Lubuk kalbuku masih belum dapat menerima realita sisa satu bulan tersebut. Aku tidak ingin kehilangan Ibu. Namun, namanya ajal sudah tertera pada kitab takdir. Ya, kupikir motifku memang hanya berlandaskan keegoisan semata. Kakiku serasa tak bertulang. Awan hitam kembali merubungi harapanku. Kali ini helaan napasku terdengar berat. Aku malas berargumen lebih lanjut dengannya. Mempertimbangkan energiku yang akan habis sia-sia, maka kubalikkan badan dan melangkah pulang.

***

Hanin tumbuh dengan mementingkan rasionalitas dan kepraktisan dalam cara berpikirnya, berbanding terbalik denganku yang cenderung memutuskan sesuatu tanpa berpikir panjang. Hanin jauh lebih teratur, sementara kamarku bagaikan kapal pecah. Ia tegas dalam mengambil keputusan, sementara aku gampang dipengaruhi pendapat orang.

Saat ini aku berada di persimpangan jalan. Menimbang-nimbang arah mana yang harus kuambil. Aku jadi bimbang. Kegelisahan menyelimutiku. Tentu saja aku ingin yang terbaik buat Ibu. Terlebih perasaannya pasti terluka apabila menyaksikan kedua putrinya berseteru. Namun, mana yang harus kupilih? Keputusan kami berdua sama-sama bertujuan membahagiakan Ibu, namun apakah aku harus memuaskan rencanaku?

Maka, sore itu, kuputuskan untuk menghubungi Miss Eva untuk membicarakannya. Kami bertemu di taman kota. Sinar matahari tidak terasa begitu panas. Dengan meremas-remas rokku, kata demi kata meluncur dari bibir. Miss Eva menyimak dengan sabar. Seketika aku merasa bersyukur karena memiliki Miss Eva yang berbaik hati mendengarkan keluhan-keluhan menyebalkan dariku. Miss Eva menerawang. Agaknya ia mencerna cerita panjang lebarku barusan.

             “Hanin punya pendapat bertentangan mengenai hal tersebut. Benar?”

            “Benar, Miss.” jawabanku masih dalam lirihan. “Aku selalu berselisih dengan Hanin,”

            Mata Miss Eva membulat. “Kalau kamu mau, kamu bisa bercerita pada Miss mengenai hal itu,”

            “Terlepas dari bedanya cara orangtua kami membesarkan yang kemudian membentuk kepribadian kami,” Aku memainkan jari-jariku. “Dulu aku dan Hanin pernah diajari Ibu menari Lenggang Nyai. Gerakannya mudah bagi kami yang masih pemula, Miss. Namun, entah mengapa Hanin memilih untuk berhenti. Ia tidak menyukainya. Dengan kasar ia berkata bahwa menari adalah hal yang bodoh untuk dilakukan. Buang-buang waktu. Mendengar itu aku kesal. Hanin barangkali tidak memiliki hasrat dalam kesenian. Namun aku tidak menyukai caranya memandang seni. Itu seperti melanggar idealismeku mengenai seni. Apalagi ia menganggap dirinya lebih superior dibanding dengan diriku, terlihat dari sikapnya di sekolah. Aku jadi tidak menyukainya. Sejak itu aku jadi sering berseteru dengannya,” ucapku panjang lebar.

            Miss Eva memahamiku. Ia manggut-manggut.

            Burung gereja yang berdiri di kabel listrik melompat kesana-kemari. Taman ini tidak begitu ramai, terkesan asri karena adanya pepohonan. “Miss tahu kamu kesal. Tapi, coba dengarkan Miss. Hanin dan punya cara berpikir sendiri. Barangkali mereka juga menyayangi Ibumu sebesar dirimu, maka mereka punya sudut pandang seperti itu. Mereka juga ingin yang terbaik bagi Ibu. Cara berpikir orang-orang beragam. Kita tak bisa memaksa mereka untuk selalu setuju dengan cara berpikir kita,” ucap Miss Eva. Aku menumpukan seluruh perhatianku.

            “Keberagaman itu banyak. Budaya, latar belakang, tradisi, hingga cara berpikir. Keberagaman dapat membantu kita memahami masalah dari sudut pandang yang berbeda. Maka, seorang pelajar sepertimu harus memiliki pikiran terbuka, Hana. Bagaimana kamu melihat kemungkinan-kemungkinan baru. Bagaimana keberagaman ini membuatmu menghasilkan sesuatu,” ucapan Miss Eva berkelana jauh dalam relung kalbuku. Berputar-putar, membuka pintu demi pintu persepi. Jari telunjuk Miss Eva mengarah pada pohon di hadapan kami. “Lihat, keberagaman itu bagaikan pohon. Bisa kita ibaratkan sebagai beragam cabang yang tumbuh dari batang utama, nan masing-masing memiliki ciri dan karakteristik unik. Namun, coba kamu lihat ke bawah. Mereka masih membentuk suatu kesatuan utuh, pohon,”

            Mataku merayapi pohon dengan cabang-cabang menjulang tersebut. Benakku masih bergelut dengan kalimat Miss Eva. Menghasilkan sesuatu. Tarian. Pengobatan. Cahaya demi cahaya kembali berpendar dalam harapanku yang nyaris pupus. Pandanganku terpaut pada spanduk bertuliskan, Lelang Lukisan Berharga! Hasil akan didonasikan untuk pembangunan sekolah di pedalaman! Di bawahnya berjejer lukisan-lukisan realisme karya pelukis jalanan.

            Spanduk tersebut menggelitik benakku. Entah mengapa benda tersebut mendorongku untuk mempertimbangkan cara pandang Hanin. Dengan senyum lebar, aku berpamitan pada Miss Eva, berterima kasih dan pulang dengan langkah ringan.

***

            Panggung itu berderik tiap kali kami melangkah. Ratusan pasang mata memusatkan pandangannya pada gerakan kami. Aku kembali memfokuskan diri pada gerakan tanganku. Mencoba lebih rileks. Ajaib, gerakanku jadi lebih luwes. Walau tampak tenang di luar, sesungguhnya dalam diriku timbul getaran hebat. Sedari pagi jantungku tak henti-hentinya berdebar. Aku bersama kawan-kawan sanggar tariku menggelar pagelaran tari amal di balai kota. Galang dana dengan tiket masuk sebagai biayanya akan  didonasikan sebagian pada biaya pengobatan Ibu. Sisanya untuk biaya panti asuhan sebelah sanggar. Ini seperti kata Miss Eva, bagaimana aku dapat menyatukan keberagaman dalam pandangan Hanin dan mengkolaborasikan kedua hal tersebut. Aku jadi teringat, sebelum pertunjukan dimulai, Hanin menghampiriku di balik panggung. Aku kaget bukan main. Ia menyatakan ingin ikut serta dalam penampilan ini.

            “Yang benar saja,” ucapku tak percaya. Ia bahkan belum latihan. Namun kini muncul di hadapanku dan sekonyong-konyongnya ingin tampil.

            “Aku tadi mempertimbangkan pemikiranmu,” kata Hanin. Ia tersenyum lembut. “Memang kita harus melihat segala sesuatu dari berbagai sudut pandang, ya,”

            Aku masih tak mengerti. “Aku juga ingin membahagiakan Ibu melalui impiannya, Hana,” ucap Hanin. Rupanya, selama seminggu ini ia latihan sendiri di rumah. Menarikan tari topeng. Tarian yang membawaku kembali ke saat-saat latihan bersama Ibu. Tarian sarat makna akan keberagaman. Gerakannya cukup rumit, tapi belakangan aku baru tahu bahwa beragam karakter di tarian ini mewakili berbagai latar belakang, kepribadian, dan pandangan hidup. Setiap karakter dalam tarian ini memiliki gerakan dan ekspresi yang unik, mencerminkan perbedaan individualitas mereka. Bahkan cara pandang pun adalah keberagaman. Aku tak dapat menyembunyikan kelegaan dan rasa senangku. Betapa aku bahagia mendapati Hanin memihakku untuk menyiapkan persembahan buat Ibu. Menggabungkan impian serta pengobatan Ibu.

           

            Netraku menelusuri bangku penonton. Pandanganku sontak buram oleh air mata tatkala mendapati sosok itu duduk di baris paling depan. Ibu. Wajahnya begitu pucat, namun senyum lebar terpampang pada air mukanya. Aku jadi ingin menangis. Andai aku dapat menembus pikiran Ibu, mengais isi benaknya. Apa yang ia pikirkan menyaksikan tarian ini? “Ibu,” bisikku dari atas panggung. Kuharap Ibu membaca bibirku. Tapi yang ada air mata mengalir dari matanya. Ia tersenyum bangga. Lihat, Bu, impianmu sudah direalisasikan. Sebentar lagi. Aku takkan bertemu Ibu beberapa minggu lagi. Tapi aku sudah mempersembahkan sesuatu untuk Ibu. Tiba-tiba saja aku menangis. Bahkan tatkala runguku disesaki sorak-sorai dari penonton begitu tarian usai, air mataku tak mau berhenti.

 

 

 

 

 

Editor: Gunawan A

Contact: 0895360470437

 

 

 

 

 

 

 

           

 

 

 

 

 

 

Komentari Tulisan Ini
Tulisan Lainnya
Barokallah,,, 9 Siswa SMAIT IQRA' Lolos Seleksi KSN Tingkat Provinsi Bengkulu

Bismillahirrahmanirrahim, Dengan penuh rasa syukur dan bahagia, kami ingin menyampaikan kabar gembira bahwa 9 siswa SMAIT IQRA berhasil lolos ke tingkat provinsi 

21/04/2024 08:46 - Oleh @humas smait-iqra - Dilihat 111 kali
Ifthor Jama'i Keluarga Besar SMAIT IQRA

Bengkulu, 5 April 2024 – Suasana Ramadhan semakin terasa di SMAIT IQRA Bengkulu. Pada hari Jum'at, 5 April 2024, keluarga besar SMAIT IQRA menyelenggarakan Ifthor Jama'i di Masj

09/04/2024 14:15 - Oleh @humas smait-iqra - Dilihat 115 kali
SMAIT IQRA' Berbagi di BUlan Penuh Berkah

Bengkulu, 04 April 2024 - SMAIT IQRA kembali menyelenggarakan kegiatan berbagi di bulan penuh berkah, bertepatan dengan bulan suci Ramadhan 1445 H. Pada kesempatan ini, SMAIT IQRA menye

05/04/2024 11:03 - Oleh @humas smait-iqra - Dilihat 128 kali
OSIS SMAIT IQRA' Menggelar Kegiatan Berbagi Buku Bacaan dan Sembako di Panti Asuhan

SMAITIQRABKL-Dalam semangat kepedulian sosial yang berkobar, OSIS SMAIT IQRA' memimpin acara berbagi yang penuh makna di Panti Asuhan Bumi Nusantara dan Panti Asuhan Adam dan Hawa sebag

30/03/2024 14:52 - Oleh @humas smait-iqra - Dilihat 120 kali
SNBP 2024

  Gemilang! Siswa-Siswi SMAIT IQRA' Kota Bengkulu Raih Prestasi Gemilang di SNBP 2024. Bengkulu, 26 Maret 2024 – Kabar gembira datang dari SMAIT IQRA' Kota Bengkulu. Tah

28/03/2024 09:18 - Oleh @humas smait-iqra - Dilihat 279 kali
Ratusan Atlet Meriahkan Turnamen Panahan ICC 10.0 Peringatan Hari Jadi ke-10 SMAIT IQRA' Kota Bengkulu

SMAITIQRABKL-Ratusan atlet panahan dari berbagai penjuru Sumatera berkumpul untuk memeriahkan turnamen bergengsi, ICC 10.0, yang diselenggarakan oleh SMAIT IQRA' Kota Bengkulu. Acara

08/03/2024 20:26 - Oleh @humas smait-iqra - Dilihat 200 kali
Sukses Besar! SMAIT IQRA' Kota Bengkulu Menutup Iqra’ Creatifiesta Competition (ICC) 10.0 dengan Meriah

SMAITIQRABKL-Merupakan sebuah momen yang penuh kegembiraan dan kebanggaan bagi SMAIT IQRA' Kota Bengkulu, karena telah berhasil menutup Iqra’ Creatifiesta Competition (ICC) 10.0 d

07/03/2024 15:34 - Oleh @humas smait-iqra - Dilihat 170 kali
SMA IT IQRA' Kota Bengkulu Sukses Lahirkan Wisudawan-Wisudawati Penghafal Qur'an Sebanyak 289 Siswa Dalam Acara Wisuda Tahfidzul Qur'an Tahun 2024

SMAITIQRABKL-Bengkulu, 1 Maret 2024, SMAIT IQRA' Kota Bengkulu merayakan momen istimewa dengan menggelar Wisuda Tahfidzul Qur'an, yang diadakan di Grage Hotel Bengkulu pada Jumat,

02/03/2024 17:01 - Oleh @humas smait-iqra - Dilihat 385 kali
Daftar IQRA' Ceatifiesta Competition 10.0: Wujudkan Bakat dan Kreativitasmu!

SMAITIQRABKL-Apakah Anda seorang pelajar yang penuh semangat dan memiliki bakat di bidang akademik, seni, atau olahraga? Ayo tunjukkan kemampuan terbaikmu dan bergabunglah dalam rangka

12/02/2024 14:24 - Oleh @humas smait-iqra - Dilihat 262 kali
Berhasil Adakan Program "TAX Goes to School" SMA IT IQRA' Jadi Inspirasi Pendidikan Berkelanjutan Kota Bengkulu

SMAITIQRABKL-SMAIT IQRA' Kota Bengkulu mendapat sorotan karena keberhasilannya mengadakan program inovatif yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman siswa tentang sistem pajak dan tan

08/02/2024 15:36 - Oleh @humas smait-iqra - Dilihat 184 kali